Dengan berupaya menjadi orang baik dan melakukan yang terbaik, maka kebaikan itu akan selalu ada disekitar kita. Sehingga tak perlu kesempurnaan untuk bisa berbahagia. Karena bahagia sesungguhnya adalah ketika kita melihat apapun secara sempurna.

Minggu, 29 April 2012

Senjata Kaum Tertindas


Kelemahan orang-orang kuat adalah kekuatan orang-orang lemah. Kelemahan orang-orang kaya adalah kekuatan utama orang-orang miskin. Sedangkan kelemahan terbesar para penguasa dzalim adalah kekuatan terhebat para rakyat jelata yang miskin papa. Bagaimana kita membangun keyakinan bahwa sekumpulan orang miskin bisa melakukan revolusi besar, bagaimana nyali kaum tertindas bisa menggerakan perubahan menuju keadaan yang lebih baik, lebih memanusiakan manusia.
Kekuatan rakyat, jika disatukan, tidak akan ada penguasa yang berdaulat. Jika rakyat bersatu seharusnya tidak bisa dikalahkan. Inilah jargon-jargon revolusi yang terus dikibarkan tanpa lelah. Rakyat tidak boleh lelah, jika lelah kekuatan mungkar akan merajalela. Setidaknya ada empat kekuatan besar yang dimiliki kaum marginal atau miskin antara lain; Pertama, orang lemah adalah orang yang paling kuat menderita. Kedua, orang lemah dan tertindas adalah orang yang tidak gampang putus asa dan mau mengorbankan apa saja yang dimiliki untuk perjuangan termasuk nyawa. Ketiga, kekuatan kelompok tertindas selalu dalam jumlah besar. Terakhir, adalah kekuatan pada doa.

Pertama, ketahanan menjalani kehidupan dalam serba kekuarangan dilakoni orang miskin turun temurun sampai cucu dan cicitnya. Ini adalah kekuatan yang tidak pernah dimiliki penguasa dan pemegang kekuasaan. Jika senjata orang lemah ini bisa dimanfaatkan, diindustrialiasikan dalam bentuk energi perubahan tentu revolusi kebaikan akan muncul tidak lama. Inilah yang disebut James Scoot (year) ’sebagai senjata orang-orang lemah’. Secara naluri orang tertindas mempunyai cara untuk bertahan dan berjuang baik dengan cara frontal atau secara diam-diam. Perubahan hanya dimulai dari keadaan buruk dan timpang.
Kedua, ada bukti empiris yang snagat kuat yang menolak pendapat Mancur Olson (year) bahwa rakyat miskin tidak akan bertindak secara kolektif walau mereka mempunyai kepentingan yang sama. Saya akui argumen tersebut ada benarnya tetapi kenyataan di beberapa tempat menunjukkan fenomena yang berbeda. Kasus perlawanan rakyat melawan kompeni di Indonesia, reformasi 1998, kasus mbah priok, kasus demonstrasi korban gempa di Yogyakarta untuk mendapatkan keadilan, kasus pembagian BLT yang didemo warga di beberapa tempat. Artinya kesadaran untuk bergerak dan menuntut hak sudah sangat lazim ada dalam pikiran dan perasaan manusia. Ada pepatah, cacing pun menggeliat jika diinjak apalagi manusia yang ditindas tentu diam bukanlah pilihan sadarnya. Mereka ingin bergerak dan merubah keadaan hanya karena buruknya pengorganisasian menjaidikan naluri ‘revolusi’-nya menciut dan mencair. Inilah pentingnya kepemimpinan kaum miskin dan dhuafa (tertindas).Orang miskin dalam sejarahnya, untuk menuntut haknya tidak segan mengorbankan nyawanya. Hal ini bisa dilihat di China, Vietnam, Indonesia, dan Timur Leste. Keberanian mati inilah kekuatan yang tidak pernah dimiliki oleh golongan penindas (kuasa).
Ketiga, orang miskin (tuna kuasa) selalu lebih besar dari jumlah golongan penindas sehingga penguasa selalu berfikir untuk memecah kekuataan massa besar rakyat dengan berbagai cara. Belanda, Amerika, atau kaum penjajah lainnya selalu menggunakan taktik mengadu domba antar sipil. Mereka menciptakan politik devide at empere atau memprovokasi massa agar terjadi konflik horizontal baik berbasis agama, ras, dan etnis. Konflik kelas sangat ditakuti oleh penguasa sebab golongan kapitalis kalah secara jumlah dan hampir dipastikan akan dilumat habis oleh massa yang panas. Karena jumlah besar inilah senjata orang tertindas menemukan kedahsyatannya. Di era negara modern negara sebagai pelaksana kekuasaan selalu takut akan diorganisasinya massa sehingga negara menangkap pemimpin massa karismatik, penulis, dan mengikis habis organisasi massa. Hal ini terlihat di era Suharto dan di zaman modern sekarang ada pamswakarsa, ada pamongpraja, ada hansip


DEMOKRASI DIPERSIMPANGAN MAKNA

Bapak Demokrasi, Filsuf besar Yunani Kuno, Plato (428-348 SM) pernah berkata: “bisa jadi demokrasi menjadi mimpi buruk dalam sistem pemerintahan”. Jika bapak Demokrasi sendiri mengatakan demikian, kenapa orang Islam membela mati-matian sistem kufur buatan kafir ini daripada sistem islam Khilafah yang menerapkan syariat Islam kaffah?
Sungguh miris ketika masih ada orang yang bangga menganut paham demokrasi, bahkan terang2an memperjuangkannya. Padahal sudah jelas bahwa demokrasi lah yang justu membuat kita (terutama umat Islam) semakin terpuruk dalam penderitaan yang berkepanjangan. Tidak arif rasanya ketika kita meneriakan “demokrasi sistem kufur!” tanpa kemudian memberikan argumentasi atasnya, hal ini juga yang diminta oleh salah seorang dosen saya. Oke Pak, ini saya jawab permintaan bapak…
Mendengar kata demokrasi, seolah2 kesan yang tertangkap adalah bagus…”kebebasan, HAM, Toleransi antarumat beragama….” namun coba deh kita lihat sampai ke hakikatnya. Coz seorang muslim akan senantiasa menyandarkan segala perbuatan, perkataan, bahkan pemikirannya pada hukum Allah kan? Nah, jadi perspektif demokrasi yang akan saya tulis ini adalah menurut Islam.

1. Demokrasi bukan Lahir dari Islam
Trus dari mana dong? Yups, Sekulerisme lahir pd zaman kegelapan Eropa, yakni ketika saat itu yang berkuasa adalah kaum gereja (Agama Nasrani). Saat itu pihak gereja (penguasa saat itu) senantiasa ‘mengisap darah’ rakyat dengan memungut pajak yang besar dari rakyatnya. Karena itulah, banyak yang akhirnya merasa terzhalimi. Kemudian muncullah kaum pemikir yang berusaha untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Kemudian dicetuskanlah ide pemisahan agama dari kehidupan yang kemudian dikenal dengan sekulerisme. Ide tersebut lahir karena adanya anggapan jika agama dicampurkan dengan pemerintahan, penderitaan lah yang akan dialami rakyatnya. Sekulerisme inilah yang menjadi akidah demokrasi. Demokrasi sendiri lahir pada era yunani Kuno. Dan saat ini Islam pun termarginalkan karena dianggap sama dengan agama yang saat itu berkuasa (nasrani), yakni tidak dapat menyejahterakan jadi harus dipisahkan dari negara. Padahal jika saja kita mau jujur pada diri kita sendiri, Islam itu bukan hanya agama ritual, tetapi Islam adalah sistem hidup. Segala aspek kehidupan ada aturannya dalam Islam; ekonomi, politik, hukum, pendidikan, pertahanan, keamanan, dll. Jadi sebenarnya, Islam mampu menjawab tantangan untuk menyejahterakan rakyat.

2. Kekuasaan dan kedaulatan pun diserahkan sepenuhnya kepada rakyat, coz dengan begitu diharapkan rakyat akan memeroleh kesejahteraannya.Padahal dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik manusia (rakyat). Jadi, rakyat sungguh sama sekali tidak berhak membuat hukum, karena membuat hukum hanyalah hak Allah (TQS. Al-An’am:57). Dan jika diperhatikan pun, demokrasi tidak benar2 menampung aspirasi rakyat. Karena para wakil rakyat yang duduk di parlemen dn diharapkan mampu mewakilkan suara rakyat pada faktanya tidak pernah meminta persetujuan rakyat sebelum membuat hukum. Kasus Ahmadiyah sebagai contoh, MUI telah dengan tegas menyatakan bahwa aliran tersebut sesat, tetapi pemerintah tidak memberikan respon yang memadai. Perusak akidah umat itu tetap saja dibiarkan berkembang saat ini. Dan sebaliknya, ketika umat Islam meminta diterapkannya perda2 syariah, justru malah ditentang habis. Itukah demokrasi yang katanya menyejaterakan? Sudah jelas bahwa demokrasi tidak akan pernah memberikan kesempatan pada umat Islam untuk hidup di bawah hukum2 Allah.

3. Demokrasi bukanlah Syura’. Karena syura’ artinya meminta pendapat. Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang dan sistem (pemerintahan)

4. Demokrasi mengusung empat kebebasan; berpendapat, perkepemilikan, berperilaku, dan beragama. Hasilnya: Ahmadiyah dibiarkan berkembang dengan alasan kebebasan beragama, SDA Indonesia dikuasai asing dengan alasan kebebasan berkepemilikan, Pembuat karikatur Nabi Muhammad dibiarkan bebas karena adanya kebebasan berpendapat, Para pelaku Free Seks dibiarkan dan orang2 yang mengumbar aurat didiamkan karena alasan kebebasan bertingkah laku. IRONIS. Inikah negeri yang sejahtera itu?

5. Suara Mayoritas hanya Omong Kosong. Nyatanya yang didengar adalah suara orang2 berkuasa. Istilah pemerintahan rakyat hanyalah jargon yang sengaja dipropagandakan untuk menipu rakyat, agar mereka merasa ikut serta dalam menentukan arah pemerintahan dengan berpartisipasi dalam mekanisme demokrasi. Padahal nyatanya, yang diuntungkan hanyalah segelintir orang, terutama para pemilik modal dan para elit politik.

Hh…demokrasi..demokrasi.

…yang ditawarkan hanya ilusi.



Rabu, 25 April 2012

TRANSFORMASI GERAKAN MAHASISWA

Dalam sejarah pergerakan mahasiswa masi terlihat banyak persoalan yang terjadi di ruang lingkup akademis itu sendiri, tetapi hal ini tidak pernah disikapi oleh kawan-kawan mahasiswa yang mengatakan dirinya adalah agen of change (sang pembaharu), mereka hanya bisa menjerit sakit dan berteriak dalam hati mereka tetapi mereka tak berteriak melalui mulutnya, akankah mahasiswa harus terus seperti ini ???

Setiap derap langkah kaki mahasiswa selalu melekat dalam dirinya sosok terang yang mampu menyinari sinar redup dalam diri rakyat kecil, akan tetapi sinar terang yang menjadi harapan rakyat dalam diri mahasiswa itu mulai pupus dan menghilang entah kemana, mungkinkah mahasiswa mulai kehilangan arah dan jati dirinya sebagai mahasiswa ataukah mahasiswa tidak lagi mengetahui Tri Darma Perguruan Tinggi yang mana (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat). Di dalam Tri Darma Perguruan Tinggi sudah begitu jelas, akan tetapi mahasiswa tidak lagi memandang tentang hal itu, mahasiswa hanya bisa bermain dengan pemikiran-pemikiran luar yang menguntungkan kelompok. Kepentingan yang menjastifikasi dirinya adalah Nabi Sosial, akankah mahasiswa harus tetap dengan pemikiran luar yang menyesatkan ???

Dunia mahasiswa memang penuh dengan romantika, dimana besar kecilnya akan memberi pengaruh terhadap karakter dan kecenderungan mereka. Keadaan ini secara potensial dapat membawa mahasiswa menuju pada suasana yang sebenarnya tidak bernuansa, bingung akan orientasi serta aksinya. Sebab lingkungan tempat mereka berada sedang digempur oleh beraneka ragam cara dan gaya hidup (life style) yang sepintas lalu tampak lebih menjanjikan “kebahagiaan”. Disini letak masalahnya, arah-arah kesadaran mahasiswa telah dialihkan dari masalah-masalah aktual  yang bergojolak di masyarakat menuju pada suatu keinginan untuk lebih memperoleh kepuasan jiwa lewat pemenuhan hasrat yang sifatnya instant.

Inilah realita mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang jauh dari budaya membaca, diskusi, berfikir, dan aksi. Mahasiwa yang tidak lagi peduli dengan ketimpangan sosial disekitarnya. Mahasiswa yang hanya disibukan oleh kepentingan pribadi bahkan menjadi berhala materialisme. Mahasiswa yang lupa bahwa di negrinya masih terdapat 36,7 juta jiwa yang hidupnya di bwah garis kemiskinan, tidaK punya ruma dan hanya tidur beratap kan langit dan beralas kan tanah di pinggir-pinggir jalan

Hilangkan budaya bumkam, apatis dan pragmatis. Kaji fakta masalah secemerlang mungkin dan beri solusi atas masalahtersebut. Katakan masalah meski itu pahit, katakan kebenaran walaupun itu sakit.
Sikap maupun tindakan seseorang sangat di tentukan oleh pemekirannya, sehingga dengan merubaah cara berpikir inilah kita dapat memastikan perubahan sikap pada orang lain. Rekontruksi pemekiran mahasiswa adalah hal yang paling urgen untuk memulai proses kebangkitan dan membangkitkan taraf kehidupan masarakat. Sebab merekalah yang kelak akaan menjadi generasi penerus pendobrak perubahan dan pembangunan di negeri yang sedang terjajah oleh himpitan persoalan hidup. Intervensi asing dan krisis multidimensi yang belum memperlihatkan indikasi penyelesaian.

Hal ini tidak boleh di biarkan terus berlarut, diperlukan upaya yang keras untuk membangkitkan kesadaran yang terpendam oleh mahasiswa sebagai kontrol sosial. Disinilah letak tugas dan tanggung jawap lembaga-lembaga mahasiswa dalam mewadahi dan menyuguhkan pendidikan politik bagi mahasiswa. Hal ini tentunya harus di awali dari reidologisasi lembaga-lembaga mahasiswa itu sendiri. Lembaga-lembaga mahasiswa harus memiliki paradigma dan orientasai yang jelas dalam menyusun arah strategi pergerakan yang mengenah pada episentrum masalah, disamping itu wajib memahami peta polotik dan sosiologi yang ada di tengah masarakat. Sehingga arah gerak yang hendak dituju tidak menjadi kabur.

Di samping itu juga, dikotomi negatif yang justru menjadi pemicu rasa antipati antara pergerakan ekstra dan intra kampus harus segera dihilangkan. Keduanya harus saling bekerjasama untuk membangun dan merumuskan arah perubahan yang akan dituju yakni perubahan yang bersifat fundamental dan mengenai esensi persoalan. Untuk itu diperlukan sebuah mainframe yang menjadi sandaran gerak aktivitas mahasiswa.

Yang tidak kalah pentingnya, lembaga-lembaga mahasiswa harus menjaga kedekatannya dengan para ”mahasiswa awam”. Aktor pergerakan tidak boleh hanya dibatasi pada tingkat elit mahasiswa, yang hal ini justru akan memandulkan potensi raksasa mereka. Wilayah akar rumput harus disentuh melalui program kerja yang diprioritaskan pada pembentukan cara berfikir yang kritis dan ideologis bagi para mahasiswa. Melalui solidaritas serta program-program kerja yang konstruktif bagi pembentukan kesadaran politik mahasiswa, hal ini diharapkan dapat menjadi titik awal yang baik untuk meretas proses perubahan sosial yang benar-benar hakiki.