Dengan beragamnya fikiran yang pernah kami perdebatkan, diiringi
menyeruput kopi dan menghisap rokok, fikiran saya dijejali dengan
berbagai macam aliran lengkap dengan argumen yang luar biasa indah..
Mungkin itu yang membuat saya jadi terlatih mengasah logika, sambil
garuk-garuk kepala, dan selalu mencoba melihat jauh ke balik kata-kata
nan indah itu.. Nih, kata-kata bijak yang lagi trend saat ini:
Lha para pendukung kebebasan itu memangnya selama ini mendukung
pelarangan pornografi sampai ke kampung-kampung? Dulu saat Inul banyak
yang menentang, kaum liberalis juga menggunakan dalil yang sama: ‘yang
lain juga dilarang doong’. Protes soal chef Sarah Quin (betul ga ya
namanya?), juga ditentang dengan alasan: ‘dia ga sengaja tampil seronok
koq’. Jika tempat-tempat maksiat digerebek, katanya menghalangi orang
cari nafkah. Jika penyanyi dangdut seronok itu diprotes masyarakat
sekitar, dijawab: urus dosa masing-masing, kalau ga suka ya ga usah
nonton.. Bahkan di saat semua itu berusaha dikurangi dengan UU Anti
Pornografi dan Pornoaksi, banyak yang menjerit-jerit: “jangan memasung
kebebasan berekspresi!” Intinya kan sebenarnya: “Jangan larang kami
melakukan pornografi dan pornoaksi, di tingkat manapun! Mau kami menari
bugil sambil mutar-mutarin baju di atas kepala di genteng rumah kami, yo
jangan protes!” Jadi, kenapa membanding-bandingkan Lady Gaga ama
Keyboard Mak Lampir? (julukan para pedangdut seronok di daerah kami..).
Toh dua-duanya sebenarnya kalian dukung, atas nama kebebasan
berekspresi? Kami, malah sedang berusaha menentang dua-duanya..'
Hmm.. Bijak dalam teori, kacau balau dalam praktek. Jika saja semua
individu bebas menjalankan prinsip hidupnya, maka kita ga perlu nunggu
suku Maya meramalkan akhir dunia. Bisa dibayangkan, jika banyak orang
yang mendukung Sumanto, lalu menjalankan prinsip hidupnya sebagai
kanibal, maka ayam goreng Kentucky ga bakal laris lagi, dan banyak orang
yang nenteng-nenteng pisau daging dan botol merica di jalanan.. Atau,
jika banyak orang yang mendukung Amrozi, kemudian menjalankan prinsip
hidupnya sebagai pelaku bom bunuh diri, maka terminal bus way yang
paling sesak pun akan bubar dalam 5 detik (termasuk penjaga tiketnya)
begitu ada lelaki menyandang ransel datang mendekat..
Ya, ya saya tahu.. Argumen saya di atas pasti akan berusaha
dimentahkan dengan argumen: “yang penting kan ga merugikan kalian” dalam
bentuk kata-kata bijak nan koplak berikut:
Hellooo.. Kita memang makhluk individu, tapi kita juga makhluk
sosial. Setiap tindakan kita, sekecil apapun, akan berpengaruh terhadap
lingkungan kita. Contoh gampangnya, kenapa kita protes sama tetangga
kita yang buang sampah ke kali? “Toh sampahnya sampah dia sendiri (ya
mana mungkin dia dengan ikhlas buangin sampahnya ente), kalinya bukan
milik mbahmu, lantas kenapa ente yang sewot?” Lha memangnya kalo banjir,
banjirnya muter-muter dulu cari siapa bajingan yang membuang sampah,
lalu terus menyerbu menggenangi rumah tetangga anda saja sampai setinggi
kepala?
Ok kita tidak suka perbuatan-perbuatan maksiat, dan kita berhasil
menghindarinya. Lalu kita juga menanamkan iman yang kuat ke anak-anak
kita, dan juga berhasil. Dan kita teriak ke luar sana: “Maree seneee
Lady Gaga, Freddy Mercury, Jhon Kei dan Mak Lampir jadi satu!! Iman saya
dan keluarga saya dah kuat koq!” Tapi sekian tahun ke depan, tiba-tiba
ada anak tetangga kita yang kecanduan pornografi, lalu tidak tahan, dan
akhirnya memperkosa anak perempuan kita.. Atau ada orang yang mabuk
karena alkohol dan narkoba, lalu menabrak seluruh keluarga kita yang
sedang jalan-jalan di trotoar.. Atau anak perempuan kita hilang, diculik
sindikat yang menjualnya ke prostitusi.. Atau anak lelaki anda disodomi
keluarga jauh anda.. Atau seorang pecandu merampok dan membunuh anda
karena butuh uang untuk beli sabu.. Sama seperti banjir, ekses negatif
dari perbuatan maksiat, tidak akan pernah pilih-pilih siapa korbannya,
baik anda berbuat maksiat atau tidak..
Benar, bahwa kita tidak salah 100%, tapi, sebenarnya, kita tetap
punya andil dalam hal itu. Kita sukses memperkuat iman keluarga kita,
tapi kita abai dengan lingkungan kita. Itulah kenapa dalam Islam ada
seruan: “amar makruf, nahi munkar”. Menyeru kepada kebajikan, mencegah
kemungkaran. Jika kita mengabaikan kemunkaran di lingkungan kita, dengan
prinsip: “urus dosa masing-masing”, yakinlah, cepat atau lambat, kita
akan memetik hasilnya…
“Beri saya 10 media massa, maka saya akan merubah dunia..”
Saat
ini, sungguh naif jika kita percaya media mainstream akan memberikan
opini yang netral dan berimbang terhadap semua hal. Mereka akan
memberikan opini yang sesuai dengan kepentingan sang pemilik (gimana
kalo pemiliknya adalah Ryan Jagal?). Sungguh sangat berbahaya jika kita
menganggap semua yang diberitakan media adalah berita yang 100% benar,
tanpa berusaha mengkritisi dan mencari berita dari sudut pandang lain
sebagai penyeimbang. Yuk, kita kritisi kata-kata bijak penutup ini..
“Menonton atau membaca pornografi, kekerasan, atau apapun tidak
akan mempengaruhi saya. Toh semua manusia dibekali filter untuk
menyaring, dan otak untuk berfikir. Jadi mau saya baca atau tonton
ribuan kali pun , tidak akan merubah pendirian saya.. Satu kali nonton konser lady Gaga tidak akan membuat yg nonton jd pemuja setan dan lesbian kan?”
Hohohoho.. Yuk kita bandingkan keadaan sekarang dan keadaan 20 tahun
yang lalu, tahun 80-90an. Zaman dulu, seks bebas di Indonesia masih
sangat sedikit jumlahnya. Untuk kaum remaja saat itu, bergandengan
tangan di depan umum saja, sudah menimbulkan ledekan yang membuat sang
pelaku ingin menceburkan diri ke selokan terdekat. Lihat anak-anak
sekarang? Mungkin anda sendiri yang dengan sukarela akan menceburkan
diri ke selokan terdekat saat melihat gaya mereka berpacaran. Bahkan
sekarang mereka dengan senang hati menyebarkan prilaku mereka dalam
bentuk video yang jumlahnya mulai menyaingi produksi film porno Amerika
dalam setahun.. Kenapa bisa bergeser? Apa anda kira para orang tua dan
guru lah yang menanamkan dogma: “Anakku, kamu harus rajin-rajin seks
bebas yaa, biar dapat rangking.. Yuk kita memasyarakatkan seks bebas dan
menseks bebaskan masyarakat..”?
Jadi, siapa yang mengajari mereka? Jawabannya sederhana: media massa.
Selama berpuluh-puluh tahun mereka menggempur otak bawah sadar kita
dengan berbagai film, buku, berita, cerita, sinetron, dan lain-lain yang
secara sangat halus menyiratkan: “Seks bebas itu hal yang biasa aja
cooy.. Anak gaul, malu dong jika masih perawan di usia 18. Tuh, banyak
artis idola kamu yang melakukannya.” Memang benar 1000 kali membaca,
atau 1x nonton Lady Gaga belum tentu merubah kita.. Tapi, pesan-pesan
itu ditanamkan selama berpuluh-puluh tahun, dalam bentuk jutaan pesan
per tahun, dari berbagai arah, terhadap anda dan keluarga anda. Yakin
anda dan keluarga anda tidak terpengaruh sedikitpun?
Siapa yang paling mudah bobol? Tentu saja anak anda. Anda kira,
kenapa iklan McDonald dan rokok mengarah kepada anak-anak dan remaja?
Karena merekalah berada dalam fase yang labil dan paling mudah
dipengaruhi, dibandingkan orang tuanya. Saat mereka menjadi dewasa dan
lebih bijaksana, rokok, junkfood dan seks bebas itu sudah menjadi
kebiasaan mereka, candu mereka, sehingga mereka akan sangat sulit
meninggalkannya, walau akhirnya paham kerusakan macam apa yang ada
dibaliknya.
“Tetap ngga ngaruh maaas, iman gue kan KW1″ Mungkin. Tapi, sedikit
banyak, anda akan terpengaruh. Anda akan menjadi permisif: “Biar ajalah
orang lain melakukannya, yang penting aku tidak.. Toh banyak yang
melakukan, dan itu bukan urusanku”. Itulah yang menjadi target
selanjutnya: menanggalkan kontrol sosial anda.. Jika laju ‘cuci otak’
ini terus berlanjut, sepuluh tahun ke depan, jangan heran jika akhirnya
kitalah yang mengekspor video porno ke Amerika dan masyarakat Amerika
lah yang nonton konser Iwak Peyek Tour 2022..
“Jangan melihat siapa yang mengatakan dong. Kalau mau
mengkritisi, kritisi gagasannya, kata-katanya, fikirannya. Jangan
kritisi pribadi dan kelakuannya (bahasa alaynya: ad hominem).”

Oalaaah.. Saya beri contoh kasus ringan. Misalnya, kata-kata ini
diucapkan dua orang yang berbeda: “Saya akan memajukan bangsa Indonesia.
Saya akan berjuang menciptakan budaya bebas korupsi, pola hidup
sederhana, dan mengikis habis kebohongan birokrat dan legislatif” Yang
pertama, diucapkan oleh Buya Hamka. Satu lagi, diucapkan Angelina
Sondakh. Saya rasa, yang pertama membuat anda manggut-manggut percaya,
dan yang kedua membuat anda setengah mati menggigit bibir, lalu
terguling karena tertawa terbahak-bahak.. Kenapa kata-kata yang sama
persis, dengan nada sama persis, tapi diucapkan oleh dua orang yang
berbeda, hasilnya bisa berbeda? Setiap kata-kata, sebijak apapun, selalu
ada motif dibaliknya. Dan motif itu, sangat terkait dengan pribadi
orang yang mengucapkannya. Jadi, kenapa kita tidak boleh mengkritisi
pribadi yang mengucapkannya?
Jika anda ingin minta pendapat tentang gaya rambut, anda bertanya
kepada penata rambut, atau ke tukang las? Jika saya bilang “lha masa
tukang las mengerti soal gaya rambut”, apa itu ad hominem?
Kasus Irshad Manji adalah contoh lain yang gamblang tentang hal itu.
Dia dibesar-besarkan media sebagai seorang reformis muslim yang berusaha
mencerahkan umat Islam. Tapi di dalam bukunya, ia membantah
prinsip-prinsip Islam sendiri dengan cara mempromosikan lesbian, gay dan
transgender, menghina jilbab, bahkan meragukan kesempurnaan Al Quran..
Jika kita mengkritisi pribadinya yang lesbian (dan tentu saja ia akan
berjuang keras agar lesbian dihalalkan dalam Islam) dan mengkritisi
sikapnya yang meragukan Al Quran, di mana salahnya? Bukankah kita memang
selalu menilai siapa yang berbicara, bukan hanya apa yang ia ucapkan?
Bagaimana mungkin dia seorang muslim, jika ia meragukan Al Quran? Itu
kan sama saja dgn ia mengaku lesbian, sambil menyatakan lagi jatuh cinta
dgn Rhoma Irama.. Lha kenapa jika kami meragukan keislamannya,
tiba-tiba muncul teriak-teriak histeris “Ad hominem! Ad hominem!?”
Nah, kata bijak terakhir ini, mungkin adalah yang paling masuk akal,
dan paling sulit dibantah. Tapi mungkin juga, inilah kata-kata bijak
yang paling koplak..
“Di masyarakat yang plural ini, janganlah ada pemaksaan kehendak.
Biarlah setiap orang melakukan pilihannya sendiri, tanpa paksaan.
Sesuatu yang dipaksa itu pasti tidak baik. Nilai yang dianut setiap
orang berbeda, jadi jangan paksakan nilai yang kamu anut terhadap orang
lain.. Jangan jadi tirani mayoritas..”
Sulit membantahnya kan?
Pertama-tama, saya tanya dulu: apakah sebagian besar dari kita memang
dengan sukarela masuk kerja jam 8 dan pulang jam 5 atau bahkan lembur?
Apakah memang kita yang memohon-mohon agar jatah cuti kita setahun cukup
dua minggu? Apa anda memang luar biasa ikhlas dengan jumlah gaji anda
sekarang? Jika tidak, kenapa anda tidak coba mengatakan kepada atasan
anda sekarang:”Maaf pak, sebenarnya saya menganut paham bahwa kerja itu
hanya 3 jam sehari, cuti 6 bulan dalam setahun, dengan gaji minimal 30
juta. Jadi, jangan paksakan kehendak bapak..”
Apa anda dulu saat remaja belajar dengan sukarela, ikhlas bin legowo?
Semua hukum dan undang-undang, apalagi dalam alam demokrasi, pada
prinsipnya, adalah pemaksaan kehendak, dari sebagian besar masyarakat
yang sepakat, kepada masyarakat lainnya yang tidak sepakat. Memangnya
semua orang setuju dengan UU tentang Narkotika? Atau UU tentang Korupsi?
Atau bahkan UU Pajak? Apa anda kira semua wajib pajak memang sudah
gatal setengah mati ingin membayar pajak sebesar itu? Lha kenapa kaum
liberal ga pernah menjerit-jerit di jalanan: “Jangan paksakan kehendak!
Biarkan mereka bayar pajak seikhlasnya..”
Jadi kenapa, saat ada penduduk di suatu daerah setuju untuk
memberlakukan perda anti prostitusi, perjudian dan miras, dengan hukuman
cambuk bagi pelakunya, kaum liberal tiba-tiba lantang berteriak “Itu
melanggar HAM!”. Anda kira memenjarakan orang itu tidak melanggar HAM
nya untuk hidup bebas merdeka? Dan kenapa, ketika RUU Anti Pornografi
dan Pornoaksi berusaha disahkan, tiba-tiba saja prinsip demokrasi
berdasar suara terbanyak dianggap sebagai tirani mayoritas? Jika memang
begitu, ga ada salahnya dong jika para pecandu narkoba dan miras
ramai-ramai naik xenia untuk demo di jalanan dan berteriak “Jangan jadi
tirani mayoritas! Kalian sudah melanggar HAM kami untuk ajeb-ajeb sampai
pagi..”.
Jika saja setiap undang-undang harus disepakati semua orang dulu baru
bisa disahkan, maka kita tidak akan pernah punya undang-undang satu
pun. Yang tidak boleh, adalah memaksa dengan kekerasan. Jika sudah
banyak yang setuju, dan memang UU itu demi kebaikan bersama (sama
seperti kita dipaksa belajar saat remaja), di mana salahnya?
Penutup
Jujur,
saya tidak membenci orang-orang liberal. Beberapa teman-teman dekat
saya adalah orang liberal. Dan saya tahu, beberapa dari mereka, memang
yakin bahwa yang mereka perjuangkan adalah demi kebaikan bangsa.. Tapi,
banyak juga di antara mereka yang hanya ingin menciptakan lingkungan
yang tepat, untuk melampiaskan nafsu mereka..
Tapi, saya koq sama sekali tidak sreg melihat arah menuju kebebasan
yang mulai sangat kebablasan ini. Lihat generasi muda kita. Terus
terang, jika melihat gang motor melintas yang membuat saya ngeri, video
porno remaja yang terbit seminggu sekali, anak-anak SD di warnet yang
saling memaki sambil mendownload lagu “selinting ganja di tangaaan…”,
remaja yang membentak ibunya, siswa SMP menjual diri demi beli
handphone, dan penjual narkoba yang jauh lebih banyak daripada
indomaret, saya kadang-kadang pingin kemas-kemas dan pesan tiket ojek
sekali jalan ke Timbuktu. Bukan ini lingkungan yang saya bayangkan bagi
saya dan anak-anak saya kelak.. Dan saya bisa bayangkan masa depan
negara kita jika para remaja yang seperti ini yang menjadi para pemimpin
kita kelak..
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Mengharapkan media mainstream
untuk mendidik remaja kita, sama saja seperti mengharapkan Lady Gaga
mengisi kuliah subuh. Mereka lah yang menolak paling keras dan berjuang
menggiring opini masyarakat setiap kali kita ingin negara mengendalikan
mereka. Kadang-kadang, saya merasa, mereka lah yang menjadi lembaga
superbody. Dan ingatlah: para wartawan media, adalah karyawan, yang
tunduk pada kehendak majikan mereka.
Jurnalisme warga seperti kompasiana, forum-forum seperti kaskus,
blog-blog, dan media-media online lainnya, mungkin itulah satu-satunya
harapan kita di masa depan. Sulit melawan media mainstream? Jelas, jika
dilakukan sendirian. Tapi, saya yakin, banyak orang-orang yang memiliki
nurani di luar sana yang, saya harap, bersedia menyeimbangkan dan
memulihkan cuci otak masyarakat dari pengaruh yang telah media massa
berikan. Ingatlah, revolusi raksasa yang merubah bangsa Arab sudah
membuktikan, bahwa kekuatan jurnalisme warga yang bersatu bahkan mampu
menumbangkan para pemimpin yang didukung salah satu negara terkuat di
dunia. Demi hidup kita, dan hidup anak-anak kita, apa itu bukan sesuatu
yang pantas diperjuangkan?
“Orang-orang
yang mencari kebenaran itu, seperti air.. Jika dihadang, ia berbelok.
Dibendung, ia akan merembes. Bahkan jika dibendung dengan menggunakan
beton dalam bendungan raksasa, ia akan menguap.. Ia tidak akan pernah
lelah mencari jalannya…”
Oleh : Dian Jatikusuma
Red : Catalist Fist
Hehehe penulis ngawur.....
BalasHapusartikel bagus
BalasHapusMantap x..
BalasHapus