Dengan berupaya menjadi orang baik dan melakukan yang terbaik, maka kebaikan itu akan selalu ada disekitar kita. Sehingga tak perlu kesempurnaan untuk bisa berbahagia. Karena bahagia sesungguhnya adalah ketika kita melihat apapun secara sempurna.

Rabu, 29 Februari 2012

Prestasi Semu Pertumbuhan Ekonomi


 
“Jangan mengira kita semua telah cukup berjasa, selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita belum selesai…” Soekarno.

Setiap hari jika kita membaca berita akhir-akhir ini,  tak ada informasi yang memanjakan telinga. Wajah penegakan hukum yang lemah, keadilan yang compang camping, kasus pelanggaran  HAM yang dilakukan aparat negara, semuanya melengkapi rasa ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Kasus pencurian sandal jepit, kakao, piring serta peristiwa gantung diri di kepolisian menjadi bukti bahwa hukum kita adalah hukum sarang laba-laba yang mampu menjaring serangga-seranga kecil.
Di tengah semrawutnya penegakan hukum dan hilangnya kepercayaan publik, Indonesia memporoleh predikat sebagai negara yang mempunyai pertumbuhan keonomi yang signifikan, dengan dinobatkan sebagai negara ”layak  investasi”. Memang ini adalah sebuah prestasi prestisius. Namun ketika prestasi ini terus digembar-gemborkan di tengah hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, maka indikasinya tak lain melainkan upayah meninabobokan bayi yang bernama rakyat. Yang kini sudah mulai bangun memberontak untuk menuntut kebutuhan perut dan hak-haknya.
Sikap pemerintah untuk menidurkan rakyat juga dilakukan ketika mencuatnya kasus suap Wisma Atlet bersamaan dengan prestasi gemilang Indonesia yang keluar sebagai juara umum dalam ajang Sea Games. Sifat kritis publik tenggelam dalam hiruk-pikuk ajang Sea Games. Hal ini mendekati teori Machiavelli dalam buku IL Principe-nya bahwa rakyat harus disuguhkan dengan pertunjukan-pertunjukan atraktif agar mereka “lupa” akan bangsanya.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika hingar-bingarnya pemberitaan media mengenai megaskandal kasus Bank Century, tiba-tiba hilang bersamaan dengan diangkatnya Sri Mulyani sebagai direktur Bank Dunia. Kemudian untuk kesekian kalinya rakyat kembali dikibuli dan merasa bangga dengan keprcayaan yang diberikan dunia tersebut.
Meninabobokan rakyat dengan prestasi semu adalah modus baru untuk meredam dan meredusir hilangya kepercayaan publik. Karena isu-isu lain seperti perbatsan Malaysia-indonesia, maupun teroris serta kekerasan tidak bisa lagi menjadi magnet untuk menarik perhatian publik. Isu-isu tersebut telah menjadi senjata pangalihan isu yang macet.
Terlepas dari itu, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia  menjadikan pemerintah bertepuk dada dan memuaskan diri dengan apa yang sudah dimiliki. Sehingga menyebabkan pesoalan-persoaln lain mengambang. Ironisnya, pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan ditengah ancaman krisis yang melanda Negara-negara Eropa tersebut sama sekali tidak menyentuh simpul terlemah persoalan kemiskinan. Faktannya wajah kemiskinan tidak berubah signifikan.
Kasus sengketa lahan antar pemilik modal dan warga atau peristiwa ribuan buruh yang turun ke jalan di Bekasi dan Bima untuk menuntut upah yang layak, terjadi pada saat ekonomi Indonesia dianggap menjanjikan. Dari rentetan peristiwa tersebut bisa ditarik kesimpulan asumtif bahwa kemajuan ekonomi kita adalah kemajuan pemilik modal raksasa. Kemajuan para investor kapitalis.
Tidak bisa dinafikan, sikap pemerintah hanya menjadikan bumi ini lahan subur bagi para investor asing dan menjadikannya tandus bagi rakyat. Tengoklah kebijakan pemerintah yang kecanduan impor, misalnya, dari sembako hingga hal-hal kecil seperti buah-buahan pun nyaris dimpor. Tentu saja hal ini berimbas pada melebarnya jurang antar pemilik modal dan rakyat, antar Si Kaya dan Si Miskin bahkan antar rakyat dan Negara.
Padahal jurang kesenjangan antar Si Kaya dan Si Miskin yang tidak mampu dijembatani telah menginspirasi berbagaia macam gejolak poltik di dunia saat ini. Gerakan revolusi di Timur Tengah dan gerakan Occupy wall street di Amerika. Gejolak-gejolak tersebut merupakan akumulasi dari kesenjangan kesejahteraan.
Jika jurang kesenjangan masih tetap terpelihara oleh kebijakan pemerintah saat ini, maka tidak menutup kemungkinan akan adanya gerakan radikal yang menuntut perubahan baik dengan jalan pemkazulan maupun konstitusional, seperti di dunia Arab belakangan ini. Dan bibit-bibit gerakan tersebut sudah mulai bermunculan sejak dini. Yang mana merupakan klimaksdari kepecayaan publik terhadap Negara yang dianggap autopilot, lemah, korup dan sebagainya. Bibi-bibit gerakan tersebut yang menumbangkan Husni Mubarak, Muamar Qhadaffy, Zine El Abidin hingga Soeharto dari empuknya sofa kekuasaan
Prestasi semu seperti kemajuan ekonomi yang tidak menyentuh rakyat tidak bisa menjadi lagu ninabobo untuk rakyat. Faktanya, gelombang revolusi terus berguling di tengah pertumbuhan ekonomi Timur Tengah yang menjanjikan di bawah perusahan minyak raksasanya.

SBY dan Soeharto
 
Indonesia setelah melewati gerbang kemerdekaan dan reformasi 1998 belum mengantarkan rakyat pada cita-cita pancasila itu sendiri; kesjahteraan bagi seluruh rakyat. Bahkan sistim pemerintahan saat ini tak lain hanyalah rezim Orde aru yang berganti topeng.
Ketika rezim Orde Baru berkuasa kebebasan berdemokrasi dipasung. Melakukan aksi demokrasi selalu dihantui oleh bayang-bayang intimidasi. Namun ketika semua orang bebas berdemokrasi dan  melakukan aksi demonstrasi seperti saat ini ,   aspirasinya belum tentu akan digubris sebelum terjadi tindakan anarkisme atau jatuh korban.
 Selain itu,  Paradigma kebijakan pemerintah SBY dan Soeharto dalam memandang pertumbuhan ekonomi hanya dalam terminologi investasi semata. Terjaganya stabilitas keamanan juga menjadi lagu tidur untuk rakyat dalam membungkus rezim otoriter Orde Baru.
Warisan budaya korup Orde Baru juga telah melekat hampir pada setiap kepemimpinan. Tak terkecuali SBY. Yang mana hal itu merupakan buah dari hasil reformasi yang dianggap setengah hati. Korupsi yang merupakan kasus klasik bak cerita bersambung yang selalu menampilakn aktor dan aktris-aktris baru. Dan sampai saat ini tidak bisa dipastikan endingnya.
Dengan bahasa terang ingin saya katakan bahwa genderang revolusi menuntut perubahan sudah harus dipalu, untuk menyempurnakan reformasi yang setengah hati itu.


Oleh Imanev Namakulenzz





1 komentar:

  1. Bangsa yang tertinggal, tidak dapat berdiri sendiri...

    BalasHapus

Berilah komentar Anda